Truk Mogok di Jalan: Kisah Solidaritas Driver di Jalan Raya

Saat Roda Berhenti: Kisah Solidaritas Driver di Jalan Raya. Siang itu, terik matahari Kalimantan memukau aspal jalan trans-Kalimantan. Keringat membasahi dahi Pak Slamet, pengemudi truk tua bermuatan kayu. Sudah puluhan tahun Pak Slamet melakoni profesi sebagai truk jasa ekspedesi, melintasi ribuan kilometer jalanan, dari ujung Kalimantan hingga menyeberang ke pulau seberang. Namun, siang itu, rodanya harus berhenti. Tepat di tengah hutan karet yang sepi, mesin truk Pak Slamet mendadak batuk-batuk, mengeluarkan asap putih tebal, lalu mati total.

“Duh, Gusti, ada-ada saja,” gumam Pak Slamet, mencoba menyalakan mesin berulang kali, namun nihil. Dia tahu persis, ini bukan mogok biasa. Ada masalah serius di dapur pacu truk kesayangannya.

Truk Mogok di Jalan

Pak Slamet turun dari kabin lalu memeriksa bagian mesin. Hatinya mencelos. Ternyata, selang radiator pecah, air tumpah membanjiri aspal. Bagi seorang sopir, truk mogok di jalan seperti ini, di tengah hutan yang jauh dari bengkel, adalah mimpi buruk setiap pengemudi. Apalagi, sinyal ponsel pun tak ada, tertelan rimbunnya pepohonan.

Ia menyandarkan punggungnya di ban truk, menatap jalanan yang sepi. Hanya suara jangkrik dan burung-burung hutan yang terdengar. Perlahan, rasa cemas mulai menyelimuti. Lantas, bagaimana bisa melanjutkan perjalanan? Selain itu, bagaimana dengan muatan yang harus segera sampai tujuan?

Tak lama kemudian, dari kejauhan terdengar deru mesin berat. Sebuah truk gandeng berwarna hijau tua melaju pelan, mendekati truk Pak Slamet. Kebetulan, dari balik kemudi, seorang pria paruh baya dengan topi usang melambai. Itu Pak Jono, sopir langganan rute ini. Mereka sering berpapasan dan saling sapa.

Pak Jono menghentikan truknya persis di depan truk Pak Slamet. “Ada apa, Pak Slamet? Kok minggir di sini?” tanyanya, melongok dari jendela.

“Ini, Pak Jono, radiator pecah. Mogok total,” jawab Pak Slamet dengan nada lesu.

Pak Jono turun dari truknya. Tanpa banyak bicara, ia langsung memeriksa mesin truk Pak Slamet. “Wah, lumayan ini, Pak. Tapi tenang saja, saya ada cadangan selang di belakang. Untung belum saya pakai.”

Mata Pak Slamet berbinar. “Alhamdulillah, Pak Jono. Matur nuwun sanget.”

Solidaritas Supir Truk

Pak Jono mengeluarkan kotak perkakas dari bagasi truknya. Bersama-sama, mereka mulai memperbaiki selang radiator. Panas menyengat, keringat bercucuran, namun semangat solidaritas supir truk membuat pekerjaan terasa ringan. Mereka berbicara tentang kondisi jalan, tentang keluarga, dan tentang suka duka menjadi pengemudi truk.

“Makanya, Pak Slamet, kalau truk mogok di jalan begini, jangan panik,” kata Pak Jono sambil mengencangkan klem. “Kita ini kan saudara di jalan. Susah senang ditanggung bareng.”

Setelah hampir satu jam berkutat, mesin truk Pak Slamet kembali hidup. Suara derunya kini terdengar normal. Pak Slamet menepuk bahu Pak Jono. “Saya tidak tahu harus bilang apa, Pak Jono. Terima kasih banyak. Kalau tidak ada Bapak, entah sampai kapan saya di sini.”

Pak Jono hanya tersenyum. “Sudah kewajiban kita, Pak Slamet. Dulu juga saya pernah begitu, truk mogok di jalan di tempat yang lebih parah. Untungnya ada yang menolong.”

Mereka berdua saling melambaikan tangan, kemudian melanjutkan perjalanan masing-masing. Di tengah sepinya hutan Kalimantan, solidaritas supir truk itu bersinar terang, menghangatkan hati yang tadinya diliputi kekhawatiran.

Beberapa bulan kemudian, giliran Pak Slamet yang harus menunjukkan rasa solidaritas supir truk-nya. Kali ini, ia berada di Sulawesi, melintasi jalur trans-Sulawesi yang terkenal menanjak dan berliku, tepatnya di daerah Mamasa. Malam itu, hujan deras mengguyur, membuat jalanan licin dan jarak pandang terbatas.

Tiba-tiba, dari arah berlawanan, lampu sorot truk lain menyala dan mati berulang kali. Sinyal darurat. Pak Slamet langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres. Ia memperlambat laju truknya dan melihat sebuah truk pengangkut semen terperosok ke parit di sisi jalan. Sopirnya, seorang pemuda yang tampak kebingungan dan basah kuyup, melambaikan tangan meminta bantuan.

Supir Truk Punya Cara

Pak Slamet menghentikan truknya di tempat yang aman. Ia turun dari kabin, berlari menghampiri pemuda itu.

“Ada apa, Nak? Kok bisa sampai begini?” tanya Pak Slamet, suaranya dipenuhi keprihatinan.

“Ban saya slip, Pak. Tiba-tiba oleng dan langsung terperosok,” jawab pemuda itu, suaranya bergetar menahan dingin dan ketakutan. “Sudah lama saya di sini, tidak ada truk yang lewat.”

Pak Slamet melihat sekeliling. Di kiri tebing, di kanan jurang, dengan rimbunnya pepohonan yang gelap. Truk mogok di jalan dalam kondisi seperti ini memang sangat membahayakan.

“Tenang, Nak. Kita usaha sama-sama,” kata Pak Slamet. Ia mengeluarkan senter dan memeriksa kondisi truk. “Untungnya tidak terlalu dalam. Muatan juga tidak tumpah.”

Pak Slamet kembali ke truknya, mengambil beberapa peralatan darurat: tali tambang tebal, dongkrak besar, dan beberapa balok kayu. Ia juga mengambil jas hujan dan memberikannya kepada pemuda itu.

“Pakai ini dulu, Nak. Jangan sampai masuk angin,” ujar Pak Slamet.

Dibawah guyuran hujan dan dinginnya malam, Pak Slamet dan pemuda itu bekerja keras. Pak Slamet yang lebih berpengalaman memberikan instruksi, sementara pemuda itu sigap mengikuti. Mereka menyisipkan balok kayu di bawah ban truk yang terperosok untuk mendapatkan pijakan, lalu mengaitkan tali tambang ke bagian depan truk pemuda dan ke truk Pak Slamet.

“Pelan-pelan ya, Nak. Nanti Bapak tarik,” instruksi Pak Slamet dari kabin truknya.

Dengan hati-hati, Pak Slamet menginjak gas, menarik perlahan truk pemuda itu. Ban truk pemuda berputar di tempat, lumpur muncrat ke mana-mana. Namun, berkat bantuan balok kayu dan tarikan kuat dari truk Pak Slamet, perlahan tapi pasti, truk semen itu mulai bergerak naik.

Hikmah Cerita

Akhirnya, dengan sebuah sentakan keras, truk semen itu berhasil naik kembali ke jalan raya. Pemuda itu bersorak kegirangan, tak peduli tubuhnya basah kuyup dan penuh lumpur.

“Terima kasih banyak, Pak! Saya tidak tahu harus bagaimana kalau Bapak tidak menolong,” ucap pemuda itu, matanya berkaca-kaca.

Pak Slamet hanya tersenyum. “Sudah kewajiban kita, Nak. Kita ini keluarga di jalan. Kalau ada yang kesusahan, kita wajib menolong. Hari ini kamu saya tolong, besok lusa mungkin saya yang butuh pertolongan. Begitulah solidaritas supir truk.”

Pemuda itu mengangguk, hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia tahu, pengalaman ini akan menjadi pelajaran berharga dalam hidupnya. Di tengah kerasnya kehidupan di jalan, solidaritas supir truk adalah jaring pengaman yang tak terlihat, namun sangat nyata. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, yang selalu siap mengulurkan tangan saat roda berhenti. Malam itu, di tengah hutan Sulawesi yang gelap dan basah, kehangatan solidaritas supir truk menyala terang, mengalahkan dinginnya malam dan beratnya beban.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *